beritajowo.com / ungaran - DESA Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang sejak dahulu dikenal sebagai wilayah yang memiliki potensi sebaran batu candi. Tidak hanya dibuktikan dengan keberadaan Candi Gedongsongo, namun di sejumlah dusun juga ada batuan candi yang sudah teregister oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah meski bentuknya tidak sempurna.
Misalnya di Dusun Candi, menurut Sekretaris Desa Candi, Bandungan, Pratminto (30) memang sejak dahulu sudah ada candi yang dikenal dengan sebutan Candi Asu. Nama itu bermula ketika ada seseorang perempuan tua yang singgah beberapa saat di sana. Selama berada di kompleks Candi Asu yang lokasinya berdampingan dengan makam setempat itu, yang bersangkutan memelihara anjing. Tujuannya tidak lain untuk penjaga atau melindungi dirinya dari mara bahaya.
“Sejak tempat tadi ditinggalkan oleh perempuan yang tidak diketahui namanya itu, anjing tersebut tetap ada di sana. Warga pun meyakini, ketika akan ada pencuri bahkan kebakaran itu ada isyaratnya. Pasti didahului dengan adanya suara gonggongan anjing,” kata Pratminto.
Berbicara nama dusun yang ada, ia melanjutkan, ada artinya tersendiri. Seperti Dusun Ngonto, berasal dari kata ngento-ento atau prakiraan. Kemudian Dusun Ngipik, berasal dari anggapan leluhur jika dilihat dari pegunungan di atasnya ketok apik . Dusun Nglarangan yang berarti di wilayah tersebut sejak dahulu memang selalu larang atau mahal ketika warga ingin mendapatkan air.
“Sekarang sudah tidak sulit air, karena di Dusun Nglarangan ada jaringan air yang dibuat mandiri oleh warga. Sumbernya mengambil dari pegunungan di sekitarnya,” ungkapnya.
Berbau Wangi
Sementara Dusun Darum, berarti gandane arum atau berbau wangi. Wangi yang dimaksud adalah bau belerang dari kawah di sekitar Candi Gedongsongo. “Desa Candi terdiri atas sembilan dusun, mayoritas mata pencaharian warganya adalah bertani. Adapun Candi Gedongsongo, areanya masuk wilayah Dusun Darum,” paparnya.
Kaitannya dengan tradisi, di Desa Candi tergolong masih terpelihara dengan baik. Artinya, berbagai tradisi leluhur masih diuri-uri dan dilaksanakan oleh pemerintah bersama warga desa setempat. Misalnya Tradisi Ngesokwangan, atau bersih-bersih sungai dan mata air menjelang Sedekah Desa. Selanjutnya, Tradisi Nyadran atau bersih makam. Tradisi Punggahan dan Tradisi Pudunan menyambut Ramadan di tempat Mbah Modin.
“Dalam waktu dekat, ada Tradisi Suran. Sesepuh dusun ketika 10 Muharam nanti akan membuat jenang sura kemudian membagikannya ke warga. Apabila melihat sejumlah tradisi yang ada, arahnya memang lebih ke budaya Kraton Surakarta,” jelasnya.