Tradisi Dugderan Semarang Dalam Menyambut Bulan Suci Ramadan Untuk Mengobati Rasa Kangen Warga Semarang

- Selasa, 21 Maret 2023 | 22:01 WIB
Karnaval Dugderan Semarang yang dimulai dari Lapangan Pancasila atau Simpang Lima.  (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)
Karnaval Dugderan Semarang yang dimulai dari Lapangan Pancasila atau Simpang Lima. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)

beritajowo.com - Setelah sempat vakum selama lebih kurang 2 tahun karena Pandemi Covid-19 maka kini tradisi dugderan Semarang kembali digelar. Dugderan merupakan tradisi unik tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Semarang untuk menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Tradisi Dugderan Semarang ini merupakan cerminan dari perpaduan tiga etnis yang mendominasi masyarakat Semarang, antara lain etnis Jawa, Tionghoa dan Arab. Antusias para pedagang dalam menyambut dugderan telah terasa sekitar satu atau dua minggu sebelum acara puncak.

Baca Juga: Cek Keberuntunganmu di Ramalan Kartu tarot Zodiak Libra, Scorpio, dan Sagitarius Besok Rabu 22 Maret 2023

Para pedagang ini menjajakan dagangannya yang beraneka ragam, di antaranya makanan, minuman, dan mainan anak-anak seperti perahu-perahuan, celengan, seruling, gangsing, dan mainan yang terbuat dari tanah liat. Keseruan acara dugderan disambut sangat antusias oleh seluruh warga Semarang. Nama “Dugderan” diambil dari kata “dugder” yang berasal dari kata “dug” (bunyi bedug yang ditabuh) dan “der” (bunyi tembakan meriam). Bunyi “dug” dan “der” tersebut sebagai pertanda akan datangnya awal Ramadan.

Baca Juga: Kamu Harus Tau Beberapa Makanan Yang Tidak Boleh Masuk Kulkas

Menurut sejarah upacara Dugderan diperkirakan mulai berlangsung sejak tahun 1881 di kala Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA Purbaningrat. Upacara ini dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai awal dimulainya puasa pada bulan suci Ramadan.

Pemerintah Kota Semarang biasa menjadikan acara ini sebagai festival kebudayaan dengan adanya arak-arakan keliling Kota. Selain itu, dalam upacara dugderan terdapat ikon berupa “warak ngendhog” berwujud hewan berkaki empat (kambing) dengan kepala mirip naga. Warak ngendhog memperlihatkan adanya perpaduan kultur Arab, Islam, Jawa, dan Tionghoa. 

Baca Juga: Penangkal Teluh,Santet dan guna-guna, Manfaat Telur Angsa Busuk untuk Tameng Ilmu supranatural.

Keberadaan warak ngendhog tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan yang harmonis antaretnis sehingga membuka jalinan kontak budaya yang lebih intensif sehingga memungkinkan adanya proses akulturasi. 

Perayaan dugderan kali ini tentunya sangat luar biasa karena sebagai pengobat kerinduan yang telah lama terpendam.

Editor: Surayyah

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X